
Mendikbud Anies Baswedan (sumber foto: Kompas.com)
Sekitar
seminggu yang lalu, ada ibu murid saya mengantar anaknya dan menemui
saya,”Alhamdulilah Bu, akhirnya….. kurikulum 2013 dihentikan!” katanya
pada saya dengan wajah penuh syukur. “Ah, masak!” jawab saya. Lalu
sergahnya cepat-cepat,”Iya guru anak saya di sekolah sudah bilang begitu
kok. Beritanya juga sudah ramai di koran dan internet!” Tapi saya
merasa belum mendapat kejelasan pasti, sehingga saya tak menanggapi
lebih lanjut. Baru Jumat malam kemarin, saat menonton TV dan running
text tertulis bahwa K13 akan dihentikan, terutama untuk yang masih
memberlakukan 1 semester.
Pernyataan
ibu tadi sebenarnya juga senada dengan orang tua-orang tua yang lain.
K13, tidak istimewa. Sebagai warga negara para murid tentunya manut saja
dengan aturan pergantian kurikulum ini. Termasuk institusi sekolah dan
para guru yang di garda depan sebagai pengajar. Apalagi saya yang
sebagai guru bimbel, harus menerima dengan beragamnya implementasi K13
antar satu sekolah dengan sekolah lainnya. Karena murid-murid saya dari
beragam sekolah. Terus terang, saya galau selama tiga semester ini. Apa
yang saya ajarkan kepada mereka, sepertinya kok tidak memberi pemahaman
yang baik dan melekat. Sebagai guru pasti merasa itu, beban itu bukan
karena bukunya, atau beban tugasnya. Tetapi saya merasakan bahwa
anak-anak telah dikorbankan dengan pergantian kurikulum kali ini. Hati
nurani saya tak bisa bohong. Apa mau protes? Sudah banyak yang protes,
juga lewat. Akhirnya, dijalani saja …… Terus terang, tetapi tidak saya
telan mentah-mentah.
Ketika
pulang dari acara kompasianival, saat lagi nonton TV. Saya baca running
text, Anies Baswedan : Kurikulum 2013 setengah matang. Dalam hati saya
berkata, nggak salah kalau saya pun jadi “mabok” mengajarkannya.
Anak-anak juga “mules” makan makanan setengah matang. Membaca running
text itu saya berharap Pak Menteri akan berbuat sesuatu. Akhirnya kabar
itu menjadi jelas, dan sudah diputuskan. Kita tinggal tunggu
pelaksanaannya di semester depan. Berikut ini pengalaman saya bersama
K13 selama tiga semester.
Apa kesan murid tentang K13?
Untuk
murid-murid SD, hampir merata mereka suka dengan penerapan K13 di
sekolah, dibandingkan dengan kurikulum sebelumnya. Alasannya : karena
banyak mainnya. Maksudnya jadi sering membuat percobaan, lalu hampir
sering bawa peralatan. Bagi anak-anak, kondisi ini menyenangkan karena
mereka tidak bosan dan tidak dituntut belajar dengan lebih banyak metode
ceramah. Mereka bisa berdiskusi, mempraktekkan beberapa percobaan,
mengamati, membuat laporan dan sebagainya. Hal ini sebenarnya merupakan
keunggulan K13, karena menggunakan pendekatan yang membuat siswa lebih
aktif dan mengalami.
Penerapan K13 yang beragam dan sesuai selera
Pada
semester ganjil ini, penerapan K13, jauh lebih baik dibanding pada
awalnya di semester ganjil tahun ajaran 2013-2014. Memang untuk SD
menggunakan pendekatan Tematik, tetapi menurut pengamatan saya, agak
dipaksakan. Pemetaan antar bidang studi juga masih ada dan tidak jelas
ini termasuk PKn atau IPS? Ini IPA atau IPS? Ini IPA tapi untuk soal BI?
Pelajaran matematika juga sangat sedikit soal-soalnya. Guru benar-benar
harus mencari tambahan materi pelajaran di luar. Muridnya juga demikan,
jadilah anak-anak SD akrab dengan internet. Tidak salah, tetapi dengan
luasnya materi di internet jawaban yang di dapat berbeda-beda, justru
makin membingungkan. Saya di bimbel bisa memantau bahwa antar sekolah
sangat beragam dan sesuai selera sekolah dalam menerapkan K13. Ada yang
membuat rangkuman, ada yang memakai bantuan LKS, ada juga yang apa
adanya saja. Benar-benar runyam dan kepontalan di semester pertama. UTS
diujikan per bidang studi, ada juga yang per tema. UAS diujikan per
tema.
Raport tanpa deretan angka
Raport
tanpa deretan angka, hanyalah deskripsi tentang perkembangan belajar
murid. Orang tua murid saya banyak yang mengeluh, tidak mengerti.
Seberapa bisa ya anaknya? Apa bedanya yang bisa dan tidak. Tidak adanya
ukuran yang jelas sebenarnya sangat merugikan murid. Raport tanpa
deretan angka juga membuat guru memanipulasi, bisa atau tidaknya kan
tidak jelas batasannya. Mau asal-asalan evaluasi juga tak masalah. Ini
terjadi, murid saya nilainya bagus, padahal kalau diperiksa, ulangannya
ternyata banyak yang salah. Paraf dari guru tanda “betul”. Tanpa ada penilaian yang bisa diukur, yang jadi korban adalah muridnya.
Materi terlalu luas, tetapi penjelasan singkat, dangkal dan lompat-lompat
Demi
tematik, akibatnya materi disajikan yang ada hubungannya tetapi secara
singkat. Penjelasannya begitu minim, kalau guru tidak mencari materi
tambahan benar-benar membuat murid hanya “sekedar kenalan” dengan bahan
ajarnya. Pada anak SD mereka masih belum bisa diberlakukan untuk mencari
bahan ajar sendiri. Ada banyak pertanyaan di buku yang tidak ada
jawabannya di materi ajar. Buku K13 untuk SD jadi seperti gaya mahasiswa
belajar, menuntut cari jawaban di luar buku paket. Demi tematik pula,
materi jadi lompat-lompat, karena membahas cahaya, maka juga dikenalkan
mata. Memang tidak salah, tetapi gabungan yang dipaksakan ini membuat
keilmuan terbelah dan tidak nyambung.
Pemahaman siswa rendah
Penerapan
K13 di SD membuat pemahaman siswa atas suatu materi begitu rendah.
Kenal kulit-kulitnya saja, sebentar lupa. Latihan soal juga sangat
minimal sekali, sementara bahan ajar sudah naik kelas. Maksudnya, ada
materi kelas 6 yang sudah diturunkan ke kelas 4, seperti diagram. Bahan
yang luas, waktu yang terbatas materi yang dangkal berakibat anak
pahamnya setengah-setengah. Ada banyak kali ketika kembali ke materi
sebelumnya, mereka lupa. Meskipun pemahaman rendah tak terlalu nampak di
raport karena penilaian deskriptif. Ini terjadi pada penilaian
pelaksanaan tahun didik 2013-2014. Pada tahun ajaran ini pelaksanaan
evaluasi jauh lebih baik, karena sekolah sudah pakai penilaian angka
yang lebih terukur secara jelas, meskipun saya juga belum tahu apakah
raport semester ini masih menggunakan penilaian deskriptif lagi atau
tidak. Beberapa sekolah juga mulai menggabungkan K13 dengan KTSP, ide
ini saya nilai lebih baik. Karena hal-hal yang penting dipahami lebih
ditonjolkan dan murid akan terbantu memahaminya. Apakah sudah ada
pembenahan? Tidak tahu juga, tetapi itulah yang saya pantau dari
tugas-tugas para murid dan sistem penilaian.
Pelajaran mahal dari K13
Indonesia
adalah negara yang mempunyai banyak generasi muda berbakat. Prestasi
anak-anak Indonesia itu luar biasa. Sebagian dari mereka juga menjadi
juara-juara di ajang olimpiade yang diselenggarakan secara
internasional. Alangkah sayangnya bila potensi itu tidak terwadahkan
secara baik. Kurikulum memang harus dikembangkan sesuai kebutuhan dan
zamannya, tetapi jangan dengan cara “coba-coba” seperti ini. Anak-anak
akan menjadi korban atas kurikulum yang tidak tepat. Akhirnya ada masa,
di mana mereka menjadi mengalami alpa atas perbedaan dengan generasi
sebelum dan sesudahnya. Akankah negara bertanggung jawab? Biaya besar
yang dikeluarkan untuk perubahan kurikulum harus menjadi jaminan bahwa
perubahan kurikulum ini memang sudah dikaji secara matang akan dan dapat
diambil manfaatnya oleh peserta didik di masanya nanti. Pengembang
kurikulum harus diduduki oleh orang-orang yang kompeten dan peduli pada
pendidikan secara independen dan memperjuangkan kemajuan pendidikan di
Indonesia secara bertanggung jawab. Tanpa bisa diintervensi oleh
pihak-pihak yang berpengaruh, tetapi tidak paham aspek pendidikan secara
berkelanjutan. Peserta didik yang dikorbankan, padahal dana APBN untuk
pendidikan sudah digelontorkan begitu besar. Dengan kejadian ini,
bagaimana negara mempertanggungjawabkannya. Bukan saja nilai uangnya,
tetapi secara moral kepada para peserta didik juga patut diperhitungkan.
Selamat
bekerja Pak Anies Baswedan, saya dan sebagian besar guru, orang tua
serta para murid mendukung langkah Anda. Kurikulum 2013 idenya cukup
bagus, tetapi masih perlu dimatangkan agar dapat dipetik manfaatnya oleh
siswa. Semoga dalam kepemimpinan Anda, pendidikan di Indonesia
mengalami pencerahan. Kami menggantungkan harapan itu di pundak Anda.
Salam,
Sumber : http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2014/12/07/pelajaran-mahal-dari-kurikulum-2013-695701.html