Kurikulum 2013 Selesai, Bagaimana Dengan Ujian Nasional (UN)?

(Generasi UN - ilustrasi: micecartoon.co.id)
(Generasi UN - ilustrasi: micecartoon.co.id)



Tindakan Anies Baswedan menghentikan Kurikulum 2013 (K13) di Indonesia cukup mengejutkan. Juga, tindakan ini dinanti para guru yang saya kira sudah mendekati titik jenuh dan kebingungan. Dari mulai sekolah yang sekadarnya menerapkan K13, instrument penilaian siswa yang rumit, sampai buku teks yang tak kunjung datang, K13 memang patut dievaluasi. Menghentikan K13 pun tidak terlalu frontal dieksekusi Kemendikbud. Bagi sekolah yang sudah menerapkan K13 akan dievaluasi selama 3 semester terkahir. (berita: Siaran Pers Kemendikbud)

Dan secara general, dihentikannya K13 karena saya yakin banyak sekolah yang sekadar dan sekenanya saja menerapkan K13. Semua karena kebingungan dan tidak niatnya pihak Kemendikbud sebelumnya. Mulai dari pelatihan K13 yang seolah mau-tidak-mau. Distribusi buku teks yang sekenanya. Sehingga, seolah K13 hanyalah proyek semata. Momentum pra-Pilpres adalah salah satunya. Dan APBN yang cukup besar diterima Kemendikbud, pokoknya dihabiskan, apapun caranya. Dua presumsi dipaksakannya K13.
Dan kini, setelah K13 dihentikan ada isu pelik dalam sistem pendidikan Nasional, yaitu Ujian Nasional (UN). Sebuah isu yang menjadi momok dunia pendidikan. Banyak siswa yang merasa berat akan diterapkannya UN. Banyak sekolah yang mengambil jalan pintas dengan membiarkan siswa mencontek saat UN. Bahkan Kepsek pun tidak malu membocorkan kunci jawaban UN. (Lihat artikel saya: Dilema UN, Kepsek Pun Membocorkan Kunci Jawaban UN).

Bahkan Anies Baswedan sendiri, jauh sebelum menjabat Mendikbud sudah mewanti-wanti UN agar dievaluasi. Saat beliau menjabar Rektor Paramadina, Anies Baswedan sudah mengiyakan Moratorium UN dengan putusan MA pada tahun 2009. Beliau menegaskan bahwa dengan putusan MA tentang Moratorium UN, ada waktu untuk mengevaluasi dan me-review UN dengan benar. Sedang, M. Nuh sebagai Mendikbud masa itu masih sibuk dengan K13. Sebuah proyek yang lagi-lagi saya katakan memang dipaksakan. (Lihat artikel saya: Anies Baswedan: Ujian Nasional Jangan Dipaksakan)

Dan kini, setelah beliau menjabat Mendikbud saya tunggu tindakan beliau menyetop UN. Bukan pula untuk UN ditiadakan sama sekali. Karena tri-semester tahun 2015 besok banyak sekolah SMP-SMA yang mengadakan UN. Namun, kembali mengevaluasi dengan menyeluruh UN itu sendiri. Tidak hanya pada tingkat konten dan esensi UN. Namun lebih holistik lagi, pada sistem dan distribusi UN itu sendiri. Pada tahun 2013 lalu, BPK sudah mengindikasikan kebocoran uang negara pada pencetakan soal UN. Puluhan miliar duit negara dikabarkan bocor. Tidak heran ada keluhan soal UN yang kurang, kualitas soal UN yang buruk dan bermacam lagi.

Faktor Penguat UN Juga Harus Dievalusi (Total)

Selain Putusan MA tahun 2009 tentang Moratorium UN dan pernyataan Anies Baswedan sendiri, ada faktor penguat lain agar UN juga harus dievaluasi, total. Seperti sebuah kendaraan yang selama ini digunakan, UN sudah saatnya turun mesin. Diservis total dan diperbaiki semua komponennya agar jalannya kembali mulus. Agar tujuan pendidikan nasional tercapai dan manusia Indonesia semakin berkualitas. Evaluasi total dengan mengacu Moratorium UN tahun 2009 lalu harus segera dieksekusi. Mungkin baiknya, konten dan esensi soal UN untuk tahun 2015 yang harus menjadi prioritas. Karena pada tri-semester 2015 nanti, SMP dan SMA atau yang sederajat akan menghelat UN. Sulit rasanya meng-overhaul UN jika UN sendiri akan dijalankan.
Jangan pula, evaluasi yang ada sekadar formalitas belaka. Ini terjadi pada masa Mendikbud M.Nuh. Dimana Konvensi UN yang diadakan Kemendikbud ternyata akal-akalan semata. Pihak yang mengkritisi dan stakeholder yang merasa keberatan dengan UN, ditipu mentah-mentah Konvensi UN. Karena yang diundang adalah banyak dari pihak-pihak pro-UN. Dengan dilangsungkan cepat dan terbatas ini, hasilnya Konvensi UN pun mengenaskan. Karena hampir 80% hasil Konvensi UN hanya berkutat pada aliran uang dan distribusi soal. Dengan pula jumlah pihak ditambah dan uang yang disuntikkan semakin banyak. (Lihat artikel saya: 80% Hasil Konvensi UN Hanya Soal Duit)

Sehingga, intinya tidak ada yang mau UN dihentikan. Baiknya UN dievaluasi total. Karen belum ada alternatif yang signifikan menggantikan UN, baik secara administratif dan esensi asesmen itu sendiri. Dan seperti domino effect, saat K13 saja bisa dihentikan secara umum, dan dievaluasi secara lokal kenapa UN tidak? UN yang beberapa tahun ke belakang seperti menjadi beban psikologis siswa, guru dan pihak sekolah tentunya ada yang tidak benar. Waktunya Anies Baswedan bergerak tangkas dan efektif mengkurasi hal ini. Sebuah hal yang saya, atau profesi pendidik lain tunggu untuk UN yang lebih baik.
Salam,

Sumber : http://edukasi.kompasiana.com/2014/12/07/kurikulum-2013-selesai-bagaimana-dengan-ujian-nasional-un-690674.html